Perpanjangan Masa Jabatan Hakim/Pimpinan MK adalah Langkah Maju (Oleh Dr. Binsar M. Gultom, SH, SE, MH)
Jumat, 4 September 2020 12:50 WIBDengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dalam rapat Paripurna DPR RI (1/9-2020) terkait status hukum masa jabatan hakim konstitusi dan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK merupakan langkah maju dan tepat untuk suatu negara yang menjungjung tinggi kekuasaan kehakiman yang merdeka
Oleh Dr. Binsar M. Gultom, SH, SE, MH, Dosen Pascasarjana Universitas Esa Unggul Jakarta
Dr. Binsar M. Gultom, SH, SE, MH
Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dalam rapat Paripurna DPR RI (1/9-2020) terkait status hukum masa jabatan hakim konstitusi dan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK merupakan langkah maju dan tepat untuk suatu negara yang menjungjung tinggi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Sebelumnya langkah Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyerahkan daftar inventaris masalah (DIM) revisi RUU MK kepada Komisi 3 DPR RI tanggal 25/8/2020 sudah tepat, karena memang masih banyak ketentuan pasal yang krusial untuk memperkuat kedudukan MK sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman.
Hal ini penting untuk menjamin impartiality dan consistency mewujudkan kepastian hukum dan keadilan yang berkesinambungan, sehingga terhindar dari politicing dan terbebas dari segala campur tangan legislatif dan eksekutif.
Mengapa? Setelah terjadinya perubahan ketiga terhadap UUD 1945, maka selain MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka juga dipegang dan dilaksanakan oleh MK (vide Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Karena itu hakim konstitusi dan pimpinan MK sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka mutlak mendapatkan persamaan hak didepan hukum dan harus mendapat perlindungan hukum atas diskriminasi yang menghimpit kebebasannya didalam mengadili dan memutus perkara demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Fakta empirik yang penulis kaji ketika mengelaborasi antara Pasal 4 ayat (3) jo Pasal 22 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dengan Pasal 5 ayat (4) jo Pasal 11 huruf (f) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA, telah terdapat “perlakuan yang tidak sama” didepan hukum menyangkut masa jabatan periodisasi antara jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dengan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MA. Menurut ketentuan UU MK ditetapkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK selama 2 tahun dan 6 bulan dan dapat dipilih satu kali lagi, sementara menurut ketentuan UU MA dibatasi sekali 5 tahun dan dapat dipilih satu kali lagi.
Demikian juga menurut Pasal 11 huruf (b) UU MA dan Pasal 23 huruf (c) UU MK, masa jabatan hakim agung dan hakim konstitusi, ditetapkan sama-sama 70 tahun, namun untuk hakim konstitusi dibatasi secara periodisasi 5 tahun tanpa alasan yang jelas, sedangkan untuk masa jabatan hakim agung tanpa periodisasi. Jika dibandingkan di berbagai negara jabatan hakim itu tidak pernah diperiodisasi, bahkan rata-rata usia pensiun diatas 70 tahun, hingga seumur hidup.
Tanpa disadari, ternyata norma-norma yang tercantum dalam UUMK selama ini telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama terhadap pejabat Ketua dan Wakil Ketua MK dan para hakim konstitusi dengan Hakim Agung dan Ketua/Wakil Ketua MA. Menurut Penulis perbedaan tersebut merupakan pelanggaran prinsip persamaan didepan hukum dan pelanggaran terhadap larangan diskriminasi seperti diatur secara tegas dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pelanggaran terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 mengenai perlakuan khusus memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Implikasinya dengan adanya masa periodisasi hakim MK akan mengganggu ketenangan jiwa para hakim untuk melaksanakan tugas pokoknya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, karena akhirnya akan berimplikasi kepada pencalonan dirinya kembali untuk masa periode berikutnya padahal baik ilmu dan pengetahuannya maupun usianya masih memungkinkan untuk menjadi hakim konstitusi.
Dengan adanya asas persamaan didepan hukum antara MA dengan MK seperti yang dikehendaki Konstitusi UUD 1945, maka segala sesuatu “hal yang sama” harus pula diperlakukan dengan cara yang sama, tidak boleh dibedakan. Implikasinya dengan adanya perlakuan yang tidak sama selama ini dihadapi oleh hakim MK terhadap Hakim Agung, telah terjadi diskriminasi yang bertentangan dengan konstitusi.
Materi revisi ketentuan ini pernah dulu saya judisial revieu ke MK terkait syarat calon Hakim Agung yang dikabulkan oleh MK berdasarkan putusan MK No. 53/PUU-XIV/2016 tanggal 19 Juli 2017, namun khusus periodisasi jabatan Hakim MK dan perpanjangan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK ditolak MK, dengan alasan adanya conflict of interest. Sehingga menjadi kewajiban bagi DPR dan Pemerintah untuk meluruskan dan mensinkronisasikan norma-norma dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK khususnya dalam Pasal 4 ayat (3) jo Pasal 22 dan Pasal 23 tersebut, agar norma tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Jika tidak, MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) harus bisa menyatakan dirinya melalui judisial revieu supaya undang-undang yang bertentangan dengan norma yang ada dalam UUD 1945, mengakibatkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, baik sebahagian maupun seluruhnya demi konsistensi persamaan hak didepan hukum.
Dengan disahkannya rancangan undang-undang MK oleh rapat paripurna DPR RI tersebut terkait dihilangkannya masa periodisasi masa jabatan Hakim Konstitusi sekaligus dipersamakannya masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK dengan jabatan Ketua dan Wakil Ketua MA haruslah diapresiasi secara positip, karena bagaimana pun tujuan revisi UU MK tersebut tidak hanya berguna untuk lembaga MK saja, akan tetapi sangat berguna kepada masyarakat pencari keadilan.***
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Yuk, Ramaikan Temu Editor Indonesiana
Minggu, 29 Januari 2023 10:56 WIBApresiasi Indonesiana untuk Penulis Produktif dan Populer 2022
Minggu, 22 Januari 2023 20:36 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler